I went to Tangkuban perahu in Bandung last vacation. There are large crater
which issued a very strong sulfur smell.
The place was called Tangkuban Perahu, because there are mountains that
resamble upside-down. And the mountains has a history.
I'm very imperessed. Exciting journey. I hope you can come to the place other
time!
Di pesantren Al-Razzaq telah ada satu orang
pengajar yang paling tekun, ulet dan sabar dalam mendidik para santri. Siapa
kira ia adalah korban Narkoba dan pergaulan bebas yang telah marak terjadi
sekarang ini, karena hidayah dan kehendak Allah SWT ia bisa berubah dan menjadi
seorang tokoh yang ikut berpartisipasi dalam membangkitkan Negeri dan
melahirkan Generasi yang berakhlakul karimah baik, KH. Qadir bin Latif. Itulah
namanya.
Sekarang ia telah mempunyai sebuah pondok pesantren yang ia khususkan untuk
para anak-anak yang kurang mampu. Qadir tidak memungut biaya sepeser pun, di
dalam hatinya hanya ada niat untuk menjadikan setiap anak mengenal dunia
Keislaman lebih jauh lagi agar mereka bisa lebih baik. Qadir yakin bahwa agama
adalah pondasi atau suatu hal yang terpenting dalam hati manusia yang
menentukan segala perbuatan atau tingkah laku sehari-hari. Ia mempunyai prinsip
seperti itu karena memang Qadir pernah merasakan hal paling terburuk dalam
hidupnya yang telah ia lakukan.
Biaya semua kebutuhan dan keperluan untuk mendirikan pondok pesantren ia
tanggung sendiri dari hasil kerja keras sendiri pula. Qadir mempunyai sebidang
kebun, sawah dan ladang. Subhanallah karena Allah, kebun, sawah dan ladang
miliknya subur dan selalu panen dengan hasil yang memuaskan. Semua yang ia
miliki adalah warisan dari sang Ayah yang telah mendahului Qadir yaitu Latif
bin Samad.
Sewaktu Qadir duduk di kelas II SMP ia adalah murid ternakal dan susah diatur,
semenjak ia ditinggal ibundanya tercinta. Jadi Latif bin Samad ayahanda dari
Qadir bin Latif memutuskan untuk memasukan Qadir ke pondok pesantren. Kebetulan
teman dari ayah Qadir yaitu KH. Razzaq bin Ghafur adalah pimpinan dari pondok
pesantren Al-jami. Qadir sempat melawan dan membantah keinginan ayahnya, bahkan
Qadir mau kabur dari rumah dan mengancam kepada ayahnya bahwa jika ia dimasukan
ke pondok pesantren lebih baik mati.
“Ya Qadir anakku yang aku banggakan, aku hanya ingin kamu menjadi anak baik.
Dengan itu aku perintahkan kamu untuk masuk ke pondok pesantren milik teman ku!
Yang akan mengajarkan kamu banyak hal kebajikan, dan itu semua akan kamu
rasakan manfaatnya di akhir kelak.” Sahut Latif bin Samad. Lalu Qadir menjawab
dengan keras dan seolah memaki ayahnya yang mengajaknya ke arah kebajikan. “Aku
tak bisa, tak mau dan tak sanggup ayah! Bila aku harus masuk ke pondok
pesantren yang ayah sebut. Lebih baik aku menyusul ibu, dari pada aku harus
menetap ke tempat yang aku sebut itu adalah ‘neraka dunia’!” kata Qadir sambil
melototi ayahnya seolah memaki ayahnya. “Astagfirullah! Kamu Islam nak,
seharusnya tidak berkata seperti itu. Kalimat itu tidak pantas di lidah seorang
muslimin. Bagaimana pun dalam keadaan apa pun dan tak peduli kamu mau atau
tidak, ayah akan tetap mendaftarkan nama mu menjadi salah satu santri.” Ucap
ayah Qadir. “Terserah ayah! Jika ayah memaksa aku akan melakukan ikrar ku
tadi!”
Ayah Qadir shalat dan berdoa untuk memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa
anaknya yang telah berucap yang tidak semestinya di ucapkan. Keesokan harinya
ayah Qadir mendaftarkan anaknya ke pondok pesantren Al-jami. KH. Razzaq bin
Ghafur menyambut baik kedatangan ayah Qadir. Dan ternyata setelah sesampainya
di rumah, ayah Qadir terkejut karena ada tali di depan jendela kamar Qadir.
“Sepertinya ia kabur dari rumah ini. Ah.. tidak masalah bagiku, lagi pula aku
telah mengatakan kepada Razzaq bahwa ‘jika anakku Qadir kabur, seperti
janjinya. Pasti ia akan pulang dan segera masuk ke pondok pesantren ini.’ Qadir
adalah anak yang manja dan belum bisa hidup tanpa orang terdekatnya, aku yakin
ia akan pulang sendiri.”
Ternyata
Qadir bingung menentukan keputusannya. Jika ia pulang, ia takut dengan ayahnya
yang berniat untuk memasukannya ke pesantren dan jika ia tidak pulang, ia susah
hidup tanpa orang terdekatnya dan yang paling mengerti tentang Qadir sendiri.
Kebingungan ini lah yang membuat Qadir putus asa dan tanpa berpikir panjang
Qadir langsung memutuskan untuk bergabung dengan orang-orang pemakai atau
pecandu narkoba dan minuman keras. Dan memang Qadir bergaul di jalanan yang
kumuh dan ikut bergabung dengan remaja-remaja lainnya yang terjerumus ke jurang
kehidupan.
Ketika
ia kecanduan dengan barang haram tersebut. Qadir kehabisan uang dan akhirnya ia
mencuri. Qadir mencuri ke rumah KH. Razzaq bin Ghafur, ia tidak tahu bahwa
rumah itu milik KH. Razzaq bin Ghafur. Qadir lolos melarikan diri ketika sedang
mencuri satu unit komputer milik anak KH. Razzaq bin Ghafur.
“Maling!
maling! maling!” Teriak Aziz bin Razzaq salah satu anak dari KH. Razzaq bin
Ghafur yang terbangun. Pak Razzaq pun terbangun pula karena suara teriakan Aziz
yang keras itu, bukan hanya orang rumah saja yang terbangun tetapi tetangga
terdekat pun terbangun. Dan mereka semua yang terbangun langsung menolong dan
berusaha untuk menangkap maling itu, tetapi Qadir selamat dengan senang ia
membawa komputer itu dan ia juga bisa membeli barang haram yang menjadi tujuan
utama Qadir. Karena ketagihan ia terus mencuri dan mencuri, ketika Qadir sedang
mempraktekkan perbuatannya itu di rumah salah satu warga di kampungnya ia
tertangkap basah sedang mencuri sebuah televisi. Karena Qadir mengaku kepada
warga bahwa selama ini Qadir yang warga cari yaitu pencuri yang sering
beroperasi pada saat malam dan selalu berhasil meloloskan diri.
Berita
itu sampai ke telinga ayahanda Qadir, Latif bin Samad. Dan setelah pak latif
mengetahui perbuatan anaknya itu langsung memasukan Qadir ke Pondok Pesantren
Al-Jami. Ayah Qadir meminta kepada KH. Razzaq bin Ghafur, agar Qadir langsung
mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang ia perbuat. Qadir langsung
mendapat hukuman di pesantren Al-Jami dan Qadir juga langsung masuk menjadi
seorang santri, ternyata hukuman yang diberikan belum menyadarkan Qadir.
Semakin lama Qadir semakin parah malah sekarang ia telah mempengaruhi santri
yang lain, KH. Razzaq bin Ghafur kesal dan langsung menanyakan kepada setiap
santri dengan tegas. “Siapa kah diantara kalian yang menjadi pengikut Qadir??
Jawab!! Ayo jawab!” semua santri terdiam dan pak Razzaq memukul meja dengan
keras dan berkata “Jawab! Kalian semua pengecut! Saya pernah mengajari kalian
sebelumnya.”
“Ya
ayyuhallazina amanudukhu fis silmi kaffataw wa la tattabi’u
khutuwatisy-syaitan, innahu lakum aduwwum mubin.(QS. Al-Baqarah:208)”
Artinya
: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan
dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata
bagimu.”
“Tapi pak! Qadir bukan setan, ia manusia biasa seperti kita yang penuh dengan
dosa-dosa” ucap Nur binti Ar-rafik, salah satu santri putri. Ia pandai dan
rajin, tapi malah membela Qadir santri putra yang nakal dan malas.
“Saya tidak mengatakan bahwa Qadir adalah setan, tetapi ia telah mengikuti
langkah-langkah setan. Dan itu bertentangan dengan surat Al-Baqarah tadi” sahut
KH. Razzaq bin Ghafur. “Tetapi, secara tidak langsung bapak telah
mengatakannya.” Balas Nur. “Iya, memang secara tidak langsung saya telah
mengatakannya. Tetapi itu secara tidak langsung.” Kata pak Razzaq. “Jika Qadir
adalah setan, mengapa bapak mau memasukannya ke sini? Bapak pernah mengatakan
bahwa, di pondok pesantren ini semua anak-anak berakhlakul karimah baik?”jawab
Nur. “Cukup Nur! Mengapa kamu ikut menentang saya?”tanya pak Razzaq, seperti
yang ada dalam surat Al-Fatihah ayat 6 yang sering kalian dengar.
Artinya
: “Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat
Allah dan melaksanakan shalat maka tidaklah kamu mau berhenti?”
Nur pun hanya bisa terdiam dan menunduk. Semua santri jadi ikut menjauhi Nur,
karena Nur dianggap telah membela yang salah. Pada waktu itu Nur dan Qadir
dipanggil ke ruang pembinaan dalam tempat yang sama dan mereka bertemu, setelah
pembinaan. Nur memberanikan diri pergi ke kamar Qadir untuk melihat keadaan
Qadir. Ternyata Nur tepat waktu, ketika ia sedang melihat ke dalam kamar Qadir.
Qadir sedang mengkonsumsi barang haram yang baru dalam kehidupan Qadir dengan
salah satu temannya yang sama-sama santri di pondok pesantren tersebut. Dan Nur
secepatnya melapor kepada pembina, tetapi Qadir mengetahui jika sudah ada yang
melihat dia sedang mengkonsumsi barang haram tersebut.
Ketika Nur berlari untuk menemui pembina dan melaporkan tentang apa yang sudah
dilihat olehnya. Ada seorang santri yang bernama Alim bin Fattah melihat Nur
berlari dengan ketakutan dan Alim penasaran dengan itu ia langsung ikut melihat
ke kamar Qadir, ternyata setelah Alim mengetahui hal tersebut. Alim malah ikut
ketakutan dan lari mengikuti kemana arah Nur tadi berlari.
Ketika Nur melaporkan itu, Raqib bin Wahhab yang merupakan salah satu pembina
di pondok pesantren Al-Jami tersebut tidak percaya dengan perkataan Nur dan Nur
terus membujuk agar pak Raqib mau percaya dengan perkataannya, ketika datang
Alim yang tadi ketakutan dan penasaran akan sebab Nur berlari dengan ketakutan.
“Paa..akk... itu..uu.. Qa.. dirr… paa..aakk..”Sambil panik, ucap Alim dengan
ketakutan.”Qaa…dirr.. maaa..buukk.. paa..aak!” kata Alim bin Fattah. ” Kamu
benar, apa kamu tidak salah lihat? Ya sudah kita lihat sekarang saja!”
Ketika pembina membina Qadir ia langsung di rehabilitasi di pondok pesantren
Al-Jami sampai benar-benar sembuh dari ketergantungannya pada narkoba.
Sebenarnya Qadir telah di rehabilitasi sebelumnya, tetapi tingkahnya yang
selalu melarikan diri membuat rehabilitasi yang dilakuakan pada Qadir tak
kunjung usai. Berita bahwa adanya Qadir di pesantren Al-jami dan Qadir juga
telah mempengaruhi santri yang lainnya, banyak orang tua yang cemas karena
ketakutan anaknya menjadi salah satu pengikut Qadir. Akhirnya A-Jami yang
menjadi korban, banyak orang tua yang mengambil anaknya kembali meski hanya
sebagian tetapi pondok pesantren itu menjadi sepi sunyi. “Para santri kemana
Man?” tanya KH. Razzaq bin Ghafur lalu asistennya Rahman dan Rahim menjawab
“Tadi banyak orang tua santri yang mengambil kembali anak-anaknya abi!” jawab
Rahman, dan Rahim pun ikut menjawab “Mereka takut anaknya ikut terjerumus
seperti Qadir”
“Tetapi mereka tidak tahu pokok permasalahan yang kita alami. Masalah Qadir
telah hampir selesai, sebetulnya orang tua yang mengambil anaknya itu tidak
mengajarkan kepada anaknya untuk menjaga diri.” sahut KH. Razzaq bin Ghafur dan
Rahman bertanya “Tetapi itu hak semua orang tua santri, abi?” dan beliau
menjawab “Iya, memang betul itu hak setiap orang tua santri. Tetapi setidaknya
mereka bisa percaya kepada kita bahwa pasti kita juga mampu dan pasti akan
memisahkan Qadir dan kawan-kawan dengan santri yang lainnya.”
Nur merasa tidak enak hati dan berfirasat buruk terhadap Qadir lalu dia
mengatakan “Astagfirullah, mengapa hati ini tidak bisa berhenti menanyakan
tentang Qadir. Apa ini rasanya jatuh cinta? Bagaimana aku bisa ingin mengetahui
semua tentang dirinya apalagi jatuh cinta?”tanya Nur kepada dirinya sendiri.
Dan ada seseorang teman Nur yang menjawabnya “Karena Allah SWT, Nur! Karena
Dialah. Hati manusia bisa dibolak balik sesuai dengan kehendaknya” jawab Dzul
binti Rauf seorang santri yang merupakan salah satu teman Nur pula. “Tapi
anehnya ia seorang pemalas mengapa aku jadi memikirkannya saja? Apa aku harus
mengatakan ini semua kepadanya?” tanya Nur kepada Dzul dan Dzul menjawab. “Jangan!
Jangan pernah kamu mengatakannya terlebih dahulu kepada seorang lelaki. Kita
seorang perempuan, harus mereka terlebih dahulu yang mengatakannya kepada
kita.”
Ketergantungan terhadap narkoba cepat mengurang pada diri Qadir setelah di
tempatkan di tempat rehabilitasi. Alhamdulillah karena hidayah Allah SWT dan
sekarang ia telah menyadari perbuatannya itu, yang ia lakukan sekarang adalah
bertaubat memohon ampun kepada sang Ghafur dan berserah diri (tawakal) kepada
Allah Ta’ala.
Qadir saat ini mulai mengikuti kegiatan pesantren dengan baik dan benar, Qadir
melaksanakan setiap tugas yang ditugaskan kepada dirinya dengan baik pula.
Seiring dengan waktu yang terus berjalan ia berusaha memberikan yang terbaik
kepada Allah SWT dan orang yang terdekat termasuk ayahnya sendiri dan KH.
Razzaq bin Ghafur merasa senang dan bangga kepada Qadir.
Setelah Qadir sadar dan ia juga mengharumkan kembali nama pesantren Al-Jami
bersama dengan pembina dan pengajarnya termasuk KH. Razzaq bin Ghafur. Akhirnya
para orang tua santri banyak yang mengembalikan anaknya ke pondok pesantren
tersebut.
Semakin dewasanya umur dan pemikiran Qadir. Semakin besar kesadarannya untuk
merubah semua sikapnya yang dulu dan mengubur dalam-dalam kenangan yang pahit
masa lalu nya bersama dengan barang haram yang dibenci Allah SWT. Qadir anggap
itu pelajaran yang ia petik dari dirinya sendiri. Perubahan pada Qadir juga
terlihat oleh Nur yang merasa canggung dengan hatinya, tetapi ketika Qadir
sudah mengubah diri. Nur tidak merasa canggung dan bingung atas diri, hati dan
pemikirannya terhadap Qadir. Qadir juga merasakan ada yang berbeda pada diri
sendiri dan teman perempuannya itu.
Setelah Qadir menyelesaikan kegiatan pesantren, ia pulang dengan nama KH. Qadir
bin Latif. dan ayah dari Qadir senang melihat Qadir berhasil, ayahnya
menginginkan agar Qadir mempunyai dan mampu mendirikan juga mengelola bahkan
mengembangkan pondok pesantren milik sendiri dengan tiga warisan yang diberikan
kepada Qadir yaitu sebidang kebun, sawah dan ladang milik keluarga Latif bin
Samad.
Mendengar wasiat ayahnya itu Qadir langsung mempunyai tekad/ niat untuk
membangkitkan negeri dan melahirkan generasi berakhlakul karimah baik. Dengan
pegangan sebidang kebun, sawah dan ladang yang diberikan ayahnya, Qadir
mengelolanya sendiri, di tengah-tengah perjalanannya menuju cita-cita yang
didambakan dan ‘innalilahi wainnalilahi rojiun’ ayahanda dari Qadir meninggal
Dunia.
Dan yang selama ini membantu Qadir memasarkan sayur dan semua hasil bumi yang
dihasilkan dari kebun, sawah, dan ladang itu sang ayah. Lalu sekarang ayah dari
Qadir meninggal, terpaksa semua usaha nya harus ditanggung sendiri dan beberapa
minggu kemudian KH. Razzaq bin Ghafur yang merupakan guru yang menuntun Qadir
ke arah benar menyusul sang ayahanda, Qadir sangat menyesali perbuatan yang
pernah Qadir perbuat kepada guru dan ayahnya itu.
Meski awalnya Qadir jatuh sakit karena terpukul. Bagaimana tidak, orang-orang
tersayang yang menjadi panutan pergi meninggalkan Qadir untuk selamanya, bahkan
Qadir depresi hingga menghambat cita-cita untuk mendirikan pondok pesantren.
Qadir dirawat di sebuah rumah sakit, Nur tidak bisa menangisi Qadir karena
keadaannya.
“Ya Allah ampunilah dosa hamba, dosa orang tua hamba dan Qadir, karena engkau
ya Ghafur! Angkatlah semua penyakit yang menggerogoti jiwa dan raga saudara ku
ini ya Allah, karena engkaulah ya Rahman Rahim maha pengasih dan penyayang.
Aamiin”begitulah doa Nur sambil terus menangis.
Subhanallah! Karena Allah SWT, Qadir membuka matanya meski perlahan dan
memanggil Nur dan Nur kaget melihat itu semua. “Terima kasih atas doa mu ya
ukhti, hanya Allah SWT yang bisa membalas amal baik mu dan semoga sang Ghafur
mengabulkannya.” ucap Qadir dan Nur menjawab “Tak apa! itu semua kewajiban kita
untuk mendoakan sesama ya akhi.” Dan Qadir kembali mengucapakan sesuatu
“Mungkin umur ku tak lama lagi, aku sudah lelah dan tak bisa bangkit dari
sakitku ini. Dan ini semua buah dari dosa-dosa ku dulu, memang aku pantas
mendapat semua pelajaran yang diujiankan oleh Allah SWT kepada ku.”
Nur pun menangis seolah tak bisa membendung rasa sedihnya, tetapi Nur tetap
memberi semangat kepada Qadir untuk bangkit dan meneruskan perjuangannya. “Ya
akhi, pasti kamu bisa melewati semua ujian ini. Nyalakan kembali semangatmu
yang kini padam untuk menerangi jalan berkerikil kecil yang sedang kau jalani.
Pasti kau mampu ya saudara ku! Kita jalani juga amanat yang diberikan oleh ayah
mu bersama-sama.” Ucap Nur seolah memberi motivasi untuk bangkit kepada Qadir.
Akhirnya Qadir mau dan mencoba untuk bertahan juga berusaha untuk tegar meski
berat menghadapi semua cobaan Allah SWT yang ditujukan untuk dirinya. Hari demi
hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan Qadir sehat kembali dan bisa
mengelola semua yang dimilikinya dari sang ayah. Qadir dengan Nur pun menjalin
hubungan yang dibilang cukup serius.
Meski
awalnya orang tua dari Nur ragu akan Qadir ketika tahu bahwa Nur dengan Qadir
menjalin hubungan, tetapi pada akhirnya mereka mau menerima Qadir dengan apa
adanya, karena janji Qadir “Aku akan menjaga Nur sampai akhir hayatku dan
insyaallah aku akan membahagiakannya.”setelah mendapat respon positif dari
kedua orang tua sang pujaan hati, mereka berencana untuk membawa hubungan
mereka ke jenjang yang lebih serius lagi. Saat ini Qadir telah sukses dengan
kebun, sawah dan ladangnya semuanya berbuah manis. Tetapi tetap ada saja
diantara buah yang manis juga rasa asam yang semu, jatuh bangun membangun
sebuah pondok pesantren sering dialaminya sekarang, dan Nur juga ikut memberi
semangat dan dukungan kepada Qadir.
Kini setelah ia berhasil membangun sebuah pondok pesantren Al-Razzaq yang ia
sesuaikan dengan nama gurunya dulu yaitu KH. Razzaq bin Ghafur, ia pun berhasil
membangkitkan Negeri dan melahirkan Generasi. Para santrinya kini telah banyak
mengukir prestasi di segala bidang khususnya prestasi di bidang keagamaan di
luar negeri pula. Selain mengharumkan nama pondok pesantrennya juga
mengharumkan nama Bangsa Indonesia, semangat perjuangan dalam diri santri Qadir
tanamkan sejak dini mungkin dan tidak tinggi hati kepada Allah SWT maupun
sesama manusia, meskipun kita lebih dari orang lain di sekitar kita.
Nah, itulah perjalanan Qadir dimasa lalu yang pahit dan meyedihkan. Tetapi
seharusnya jika kita kehilangan seseorang yang dicintai, kita tidak boleh putus
asa dan marah pada Allah SWT. Itu semua ujian kehidupan dari Allah SWT untuk
menguji kesabaran khalifah di bumi ini yaitu kita sebagai manusia umat Baginda
Rasulullah Muhammad SAW.