Minggu, 10 April 2011

Postcard

Dear Vanessa

                I went to Tangkuban perahu in Bandung last vacation. There are large crater which issued a very strong sulfur smell.
               The place was called Tangkuban Perahu, because there are mountains that resamble upside-down. And the mountains has a history.
               I'm very imperessed. Exciting journey. I hope you can come to the place other time!


                                                                                                            Love
                                                                                                               Fiona

Minggu, 03 April 2011

Hidayah Mu Ya Rabb


Di pesantren Al-Razzaq telah ada satu orang pengajar yang paling tekun, ulet dan sabar dalam mendidik para santri. Siapa kira ia adalah korban Narkoba dan pergaulan bebas yang telah marak terjadi sekarang ini, karena hidayah dan kehendak Allah SWT ia bisa berubah dan menjadi seorang tokoh yang ikut berpartisipasi dalam membangkitkan Negeri dan  melahirkan Generasi yang berakhlakul karimah baik, KH. Qadir bin Latif. Itulah namanya.
       Sekarang ia telah mempunyai sebuah pondok pesantren yang ia khususkan untuk para anak-anak yang kurang mampu. Qadir tidak memungut biaya sepeser pun, di dalam hatinya hanya ada niat untuk menjadikan setiap anak mengenal dunia Keislaman lebih jauh lagi agar mereka bisa lebih baik. Qadir yakin bahwa agama adalah pondasi atau suatu hal yang terpenting dalam hati manusia yang menentukan segala perbuatan atau tingkah laku sehari-hari. Ia mempunyai prinsip seperti itu karena memang Qadir pernah merasakan hal paling terburuk dalam hidupnya yang telah ia lakukan.
       Biaya semua kebutuhan dan keperluan untuk mendirikan pondok pesantren ia tanggung sendiri dari hasil kerja keras sendiri pula. Qadir mempunyai sebidang kebun, sawah dan ladang. Subhanallah karena Allah, kebun, sawah dan ladang miliknya subur dan selalu panen dengan hasil yang memuaskan. Semua yang ia miliki adalah warisan dari sang Ayah yang telah mendahului Qadir yaitu Latif bin Samad.
       Sewaktu Qadir duduk di kelas II SMP ia adalah murid ternakal dan susah diatur, semenjak ia ditinggal ibundanya tercinta. Jadi Latif bin Samad ayahanda dari Qadir bin Latif memutuskan untuk memasukan Qadir ke pondok pesantren. Kebetulan teman dari ayah Qadir yaitu KH. Razzaq bin Ghafur adalah pimpinan dari pondok pesantren Al-jami. Qadir sempat melawan dan membantah keinginan ayahnya, bahkan Qadir mau kabur dari rumah dan mengancam kepada ayahnya bahwa jika ia dimasukan ke pondok pesantren lebih baik mati.
       “Ya Qadir anakku yang aku banggakan, aku hanya ingin kamu menjadi anak baik. Dengan itu aku perintahkan kamu untuk masuk ke pondok pesantren milik teman ku! Yang akan mengajarkan kamu banyak hal kebajikan, dan itu semua akan kamu rasakan manfaatnya di akhir kelak.” Sahut Latif bin Samad. Lalu Qadir menjawab dengan keras dan seolah memaki ayahnya yang mengajaknya ke arah kebajikan. “Aku tak bisa, tak mau dan tak sanggup ayah! Bila aku harus masuk ke pondok pesantren yang ayah sebut. Lebih baik aku menyusul ibu, dari pada aku harus menetap ke tempat yang aku sebut itu adalah ‘neraka dunia’!” kata Qadir sambil melototi ayahnya seolah memaki ayahnya. “Astagfirullah! Kamu Islam nak, seharusnya tidak berkata seperti itu. Kalimat itu tidak pantas di lidah seorang muslimin. Bagaimana pun dalam keadaan apa pun dan tak peduli kamu mau atau tidak, ayah akan tetap mendaftarkan nama mu menjadi salah satu santri.” Ucap ayah Qadir. “Terserah ayah! Jika ayah memaksa aku akan melakukan ikrar ku tadi!”
       Ayah Qadir shalat dan berdoa untuk memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa anaknya yang telah berucap yang tidak semestinya di ucapkan. Keesokan harinya ayah Qadir mendaftarkan anaknya ke pondok pesantren Al-jami. KH. Razzaq bin Ghafur menyambut baik kedatangan ayah Qadir. Dan ternyata setelah sesampainya di rumah, ayah Qadir terkejut karena ada tali di depan jendela kamar Qadir. “Sepertinya ia kabur dari rumah ini. Ah.. tidak masalah bagiku, lagi pula aku telah mengatakan kepada Razzaq bahwa ‘jika anakku Qadir kabur, seperti janjinya. Pasti ia akan pulang dan segera masuk ke pondok pesantren ini.’ Qadir adalah anak yang manja dan belum bisa hidup tanpa orang terdekatnya, aku yakin ia akan pulang sendiri.”
Ternyata Qadir bingung menentukan keputusannya. Jika ia pulang, ia takut dengan ayahnya yang berniat untuk memasukannya ke pesantren dan jika ia tidak pulang, ia susah hidup tanpa orang terdekatnya dan yang paling mengerti tentang Qadir sendiri. Kebingungan ini lah yang membuat Qadir putus asa dan tanpa berpikir panjang Qadir langsung memutuskan untuk bergabung dengan orang-orang pemakai atau pecandu narkoba dan minuman keras. Dan memang Qadir bergaul di jalanan yang kumuh dan ikut bergabung dengan remaja-remaja lainnya yang terjerumus ke jurang kehidupan.
Ketika ia kecanduan dengan barang haram tersebut. Qadir kehabisan uang dan akhirnya ia mencuri. Qadir mencuri ke rumah KH. Razzaq bin Ghafur, ia tidak tahu bahwa rumah itu milik KH. Razzaq bin Ghafur. Qadir lolos melarikan diri ketika sedang mencuri satu unit komputer milik anak KH. Razzaq bin Ghafur.
“Maling! maling! maling!” Teriak Aziz bin Razzaq salah satu anak dari KH. Razzaq bin Ghafur yang terbangun. Pak Razzaq pun terbangun pula karena suara teriakan Aziz yang keras itu, bukan hanya orang rumah saja yang terbangun tetapi tetangga terdekat pun terbangun. Dan mereka semua yang terbangun langsung menolong dan berusaha untuk menangkap maling itu, tetapi Qadir selamat dengan senang ia membawa komputer itu dan ia juga bisa membeli barang haram yang menjadi tujuan utama Qadir. Karena ketagihan ia terus mencuri dan mencuri, ketika Qadir sedang mempraktekkan perbuatannya itu di rumah salah satu warga di kampungnya ia tertangkap basah sedang mencuri sebuah televisi. Karena Qadir mengaku kepada warga bahwa selama ini Qadir yang warga cari yaitu pencuri yang sering beroperasi pada saat malam dan selalu berhasil meloloskan diri.
Berita itu sampai ke telinga ayahanda Qadir, Latif bin Samad. Dan setelah pak latif mengetahui perbuatan anaknya itu langsung memasukan Qadir ke Pondok Pesantren Al-Jami. Ayah Qadir meminta kepada KH. Razzaq bin Ghafur, agar Qadir langsung mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang ia perbuat. Qadir langsung mendapat hukuman di pesantren Al-Jami dan Qadir juga langsung masuk menjadi seorang santri, ternyata hukuman yang diberikan belum menyadarkan Qadir. Semakin lama Qadir semakin parah malah sekarang ia telah mempengaruhi santri yang lain, KH. Razzaq bin Ghafur kesal dan langsung menanyakan kepada setiap santri dengan tegas. “Siapa kah diantara kalian yang menjadi pengikut Qadir?? Jawab!! Ayo jawab!” semua santri terdiam dan pak Razzaq memukul meja dengan keras dan berkata “Jawab! Kalian semua pengecut! Saya pernah mengajari kalian sebelumnya.”
“Ya ayyuhallazina amanudukhu fis silmi kaffataw wa la tattabi’u khutuwatisy-syaitan, innahu lakum aduwwum mubin.(QS. Al-Baqarah:208)”
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
       “Tapi pak! Qadir bukan setan, ia manusia biasa seperti kita yang penuh dengan dosa-dosa” ucap Nur binti Ar-rafik, salah satu santri putri. Ia pandai dan rajin, tapi malah membela Qadir santri putra yang nakal dan malas.
       “Saya tidak mengatakan bahwa Qadir adalah setan, tetapi ia telah mengikuti langkah-langkah setan. Dan itu bertentangan dengan surat Al-Baqarah tadi” sahut KH. Razzaq bin Ghafur. “Tetapi, secara tidak langsung bapak telah mengatakannya.” Balas Nur. “Iya, memang secara tidak langsung saya telah mengatakannya. Tetapi itu secara tidak langsung.” Kata pak Razzaq. “Jika Qadir adalah setan, mengapa bapak mau memasukannya ke sini? Bapak pernah mengatakan bahwa, di pondok pesantren ini semua anak-anak berakhlakul karimah baik?”jawab Nur. “Cukup Nur! Mengapa kamu ikut menentang saya?”tanya pak Razzaq, seperti yang ada dalam surat Al-Fatihah ayat 6 yang sering kalian dengar.
“Ya ayyuhallazina amanu innamal khamru wal maisiru wal-ansabu wal-azlamu rijsum min amalisy-syaitani fajtanibuhu la’allakum tuflihun.(QS. Al-Maidah:90)”
Artinya : “Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka tidaklah kamu mau berhenti?”
       Nur pun hanya bisa terdiam dan menunduk. Semua santri jadi ikut menjauhi Nur, karena Nur dianggap telah membela yang salah. Pada waktu itu Nur dan Qadir dipanggil ke ruang pembinaan dalam tempat yang sama dan mereka bertemu, setelah pembinaan. Nur memberanikan diri pergi ke kamar Qadir untuk melihat keadaan Qadir. Ternyata Nur tepat waktu, ketika ia sedang melihat ke dalam kamar Qadir. Qadir sedang mengkonsumsi barang haram yang baru dalam kehidupan Qadir dengan salah satu temannya yang sama-sama santri di pondok pesantren tersebut. Dan Nur secepatnya melapor kepada pembina, tetapi Qadir mengetahui jika sudah ada yang melihat dia sedang mengkonsumsi barang haram tersebut.
       Ketika Nur berlari untuk menemui pembina dan melaporkan tentang apa yang sudah dilihat olehnya. Ada seorang santri yang bernama Alim bin Fattah melihat Nur berlari dengan ketakutan dan Alim penasaran dengan itu ia langsung ikut melihat ke kamar Qadir, ternyata setelah Alim mengetahui hal tersebut. Alim malah ikut ketakutan dan lari mengikuti kemana arah Nur tadi berlari.
       Ketika Nur melaporkan itu, Raqib bin Wahhab yang merupakan salah satu pembina di pondok pesantren Al-Jami tersebut tidak percaya dengan perkataan Nur dan Nur terus membujuk agar pak Raqib mau percaya dengan perkataannya, ketika datang Alim yang tadi ketakutan dan penasaran akan sebab Nur berlari dengan ketakutan.
       “Paa..akk... itu..uu.. Qa.. dirr… paa..aakk..”Sambil panik, ucap Alim dengan ketakutan.”Qaa…dirr.. maaa..buukk.. paa..aak!” kata Alim bin Fattah. ” Kamu benar, apa kamu tidak salah lihat? Ya sudah kita lihat sekarang saja!”
       Ketika pembina membina Qadir ia langsung di rehabilitasi di pondok pesantren Al-Jami sampai benar-benar sembuh dari ketergantungannya pada narkoba. Sebenarnya Qadir telah di rehabilitasi sebelumnya, tetapi tingkahnya yang selalu melarikan diri membuat rehabilitasi yang dilakuakan pada Qadir tak kunjung usai. Berita bahwa adanya Qadir di pesantren Al-jami dan Qadir juga telah mempengaruhi santri yang lainnya, banyak orang tua yang cemas karena ketakutan anaknya menjadi salah satu pengikut Qadir. Akhirnya A-Jami yang menjadi korban, banyak orang tua yang mengambil anaknya kembali meski hanya sebagian tetapi pondok pesantren itu menjadi sepi sunyi. “Para santri kemana Man?” tanya KH. Razzaq bin Ghafur lalu asistennya Rahman dan Rahim menjawab “Tadi banyak orang tua santri yang mengambil kembali anak-anaknya abi!” jawab Rahman, dan Rahim pun ikut menjawab “Mereka takut anaknya ikut terjerumus seperti Qadir”
       “Tetapi mereka tidak tahu pokok permasalahan yang kita alami. Masalah Qadir telah hampir selesai, sebetulnya orang tua yang mengambil anaknya itu tidak mengajarkan kepada anaknya untuk menjaga diri.” sahut KH. Razzaq bin Ghafur dan Rahman bertanya “Tetapi itu hak semua orang tua santri, abi?” dan beliau menjawab “Iya, memang betul itu hak setiap orang tua santri. Tetapi setidaknya mereka bisa percaya kepada kita bahwa pasti kita juga mampu dan pasti akan memisahkan Qadir dan kawan-kawan dengan santri yang lainnya.”
       Nur merasa tidak enak hati dan berfirasat buruk terhadap Qadir lalu dia mengatakan “Astagfirullah, mengapa hati ini tidak bisa berhenti menanyakan tentang Qadir. Apa ini rasanya jatuh cinta? Bagaimana aku bisa ingin mengetahui semua tentang dirinya apalagi jatuh cinta?”tanya Nur kepada dirinya sendiri. Dan ada seseorang teman Nur yang menjawabnya “Karena Allah SWT, Nur! Karena Dialah. Hati manusia bisa dibolak balik sesuai dengan kehendaknya” jawab Dzul binti Rauf seorang santri yang merupakan salah satu teman Nur pula. “Tapi anehnya ia seorang pemalas mengapa aku jadi memikirkannya saja? Apa aku harus mengatakan ini semua kepadanya?” tanya Nur kepada Dzul dan Dzul menjawab. “Jangan! Jangan pernah kamu mengatakannya terlebih dahulu kepada seorang lelaki. Kita seorang perempuan, harus mereka terlebih dahulu yang mengatakannya kepada kita.”
       Ketergantungan terhadap narkoba cepat mengurang pada diri Qadir setelah di tempatkan di tempat rehabilitasi. Alhamdulillah karena hidayah Allah SWT dan sekarang ia telah menyadari perbuatannya itu, yang ia lakukan sekarang adalah bertaubat memohon ampun kepada sang Ghafur dan berserah diri (tawakal) kepada Allah Ta’ala.
       Qadir saat ini mulai mengikuti kegiatan pesantren dengan baik dan benar, Qadir melaksanakan setiap tugas yang ditugaskan kepada dirinya dengan baik pula. Seiring dengan waktu yang terus berjalan ia berusaha memberikan yang terbaik kepada Allah SWT dan orang yang terdekat termasuk ayahnya sendiri dan KH. Razzaq bin Ghafur merasa senang dan bangga kepada Qadir.
       Setelah Qadir sadar dan ia juga mengharumkan kembali nama pesantren Al-Jami bersama dengan pembina dan pengajarnya termasuk KH. Razzaq bin Ghafur. Akhirnya para orang tua santri banyak yang mengembalikan anaknya ke pondok pesantren tersebut.
       Semakin dewasanya umur dan pemikiran Qadir. Semakin besar kesadarannya untuk merubah semua sikapnya yang dulu dan mengubur dalam-dalam kenangan yang pahit masa lalu nya bersama dengan barang haram yang dibenci Allah SWT. Qadir anggap itu pelajaran yang ia petik dari dirinya sendiri. Perubahan pada Qadir juga terlihat oleh Nur yang merasa canggung dengan hatinya, tetapi ketika Qadir sudah mengubah diri. Nur tidak merasa canggung dan bingung atas diri, hati dan pemikirannya terhadap Qadir. Qadir juga merasakan ada yang berbeda pada diri sendiri dan teman perempuannya itu.
       Setelah Qadir menyelesaikan kegiatan pesantren, ia pulang dengan nama KH. Qadir bin Latif. dan ayah dari Qadir senang melihat Qadir berhasil, ayahnya menginginkan agar Qadir mempunyai dan mampu mendirikan juga mengelola bahkan mengembangkan pondok pesantren milik sendiri dengan tiga warisan yang diberikan kepada Qadir yaitu sebidang kebun, sawah dan ladang milik keluarga Latif bin Samad.
       Mendengar wasiat ayahnya itu Qadir langsung mempunyai tekad/ niat untuk membangkitkan negeri dan melahirkan generasi berakhlakul karimah baik. Dengan pegangan sebidang kebun, sawah dan ladang yang diberikan ayahnya, Qadir mengelolanya sendiri, di tengah-tengah perjalanannya menuju cita-cita yang didambakan dan ‘innalilahi wainnalilahi rojiun’ ayahanda dari Qadir meninggal Dunia.
       Dan yang selama ini membantu Qadir memasarkan sayur dan semua hasil bumi yang dihasilkan dari kebun, sawah, dan ladang itu sang ayah. Lalu sekarang ayah dari Qadir meninggal, terpaksa semua usaha nya harus ditanggung sendiri dan beberapa minggu kemudian KH. Razzaq bin Ghafur yang merupakan guru yang menuntun Qadir ke arah benar menyusul sang ayahanda, Qadir sangat menyesali perbuatan yang pernah Qadir perbuat kepada guru dan ayahnya itu.
       Meski awalnya Qadir jatuh sakit karena terpukul. Bagaimana tidak, orang-orang tersayang yang menjadi panutan pergi meninggalkan Qadir untuk selamanya, bahkan Qadir depresi hingga menghambat cita-cita untuk mendirikan pondok pesantren. Qadir dirawat di sebuah rumah sakit, Nur tidak bisa menangisi Qadir karena keadaannya.
       “Ya Allah ampunilah dosa hamba, dosa orang tua hamba dan Qadir, karena engkau ya Ghafur! Angkatlah semua penyakit yang menggerogoti jiwa dan raga saudara ku ini ya Allah, karena engkaulah ya Rahman Rahim maha pengasih dan penyayang. Aamiin”begitulah doa Nur sambil terus menangis.
       Subhanallah! Karena Allah SWT, Qadir membuka matanya meski perlahan dan memanggil Nur dan Nur kaget melihat itu semua. “Terima kasih atas doa mu ya ukhti, hanya Allah SWT yang bisa membalas amal baik mu dan semoga sang Ghafur mengabulkannya.” ucap Qadir dan Nur menjawab “Tak apa! itu semua kewajiban kita untuk mendoakan sesama ya akhi.” Dan Qadir kembali mengucapakan sesuatu “Mungkin umur ku tak lama lagi, aku sudah lelah dan tak bisa bangkit dari sakitku ini. Dan ini semua buah dari dosa-dosa ku dulu, memang aku pantas mendapat semua pelajaran yang diujiankan oleh Allah SWT kepada ku.”
       Nur pun menangis seolah tak bisa membendung rasa sedihnya, tetapi Nur tetap memberi semangat kepada Qadir untuk bangkit dan meneruskan perjuangannya. “Ya akhi, pasti kamu bisa melewati semua ujian ini. Nyalakan kembali semangatmu yang kini padam untuk menerangi jalan berkerikil kecil yang sedang kau jalani. Pasti kau mampu ya saudara ku! Kita jalani juga amanat yang diberikan oleh ayah mu bersama-sama.” Ucap Nur seolah memberi motivasi untuk bangkit kepada Qadir.
       Akhirnya Qadir mau dan mencoba untuk bertahan juga berusaha untuk tegar meski berat menghadapi semua cobaan Allah SWT yang ditujukan untuk dirinya. Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan Qadir sehat kembali dan bisa mengelola semua yang dimilikinya dari sang ayah. Qadir dengan Nur pun menjalin hubungan yang dibilang cukup serius.
 Meski awalnya orang tua dari Nur ragu akan Qadir ketika tahu bahwa Nur dengan Qadir menjalin hubungan, tetapi pada akhirnya mereka mau menerima Qadir dengan apa adanya, karena janji Qadir “Aku akan menjaga Nur sampai akhir hayatku dan insyaallah aku akan membahagiakannya.”setelah mendapat respon positif dari kedua orang tua sang pujaan hati, mereka berencana untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius lagi. Saat ini Qadir telah sukses dengan kebun, sawah dan ladangnya semuanya berbuah manis. Tetapi tetap ada saja diantara buah yang manis juga rasa asam yang semu, jatuh bangun membangun sebuah pondok pesantren sering dialaminya sekarang, dan Nur juga ikut memberi semangat dan dukungan kepada Qadir.
       Kini setelah ia berhasil membangun sebuah pondok pesantren Al-Razzaq yang ia sesuaikan dengan nama gurunya dulu yaitu KH. Razzaq bin Ghafur, ia pun berhasil membangkitkan Negeri dan melahirkan Generasi. Para santrinya kini telah banyak mengukir prestasi di segala bidang khususnya prestasi di bidang keagamaan di luar negeri pula. Selain mengharumkan nama pondok pesantrennya juga mengharumkan nama Bangsa Indonesia, semangat perjuangan dalam diri santri Qadir tanamkan sejak dini mungkin dan tidak tinggi hati kepada Allah SWT maupun sesama manusia, meskipun kita lebih dari orang lain di sekitar kita.
       Nah, itulah perjalanan Qadir dimasa lalu yang pahit dan meyedihkan. Tetapi seharusnya jika kita kehilangan seseorang yang dicintai, kita tidak boleh putus asa dan marah pada Allah SWT. Itu semua ujian kehidupan dari Allah SWT untuk menguji kesabaran khalifah di bumi ini yaitu kita sebagai manusia umat Baginda Rasulullah Muhammad SAW.