Senin, 04 Agustus 2014

Aku Tak Sempurna 1


“Bohong!!! Kamu emang istri kurang ajar!! Berani berani nya kamu tanya sapa mesra duda lapuk itu di depan suami kamu!! Istri macam apa kamu ini!?”
“Maaf bang! Aku engga bermaksud seperti itu. Aku sama sekali ga punya pikiran untuk menduakan abang! Aku ini istrimu! Percayalah bang!”
“Halah! Gimana aku mau percaya sama istri geblekk kayak kamu! Istri macem kamu tuh mesti dikasih pelajaran! Sini, kamu ikut abang!”
“Astagfirullah!! Sakit bang! Sakit!!”
“Rasain tuh! Istri kayak kamu udah sepantesnya dapet itu!!!”
“Ampun bang! Ampun… Ina mohon sama abang!”
“Kalau kamu masih nanya dengan mesra ke si duda lapuk itu, inget ya.. abang ga segen-segen kasih pelajaran yang lebih dari ini sama kamu!!!”
           
 Luka lebam di kakiku pun belum pulih, sekarang malah tambah luka ditangan kananku. Uhh.. perih rasanya jika rumah tanggaku seperti ini saja. Suamiku, bang Hendra belakangan ini sering mengamuk tak jelas kepadaku. Entah mengapa.. setelah genap enam bulan pernikahan ini berjalan, bang Hendra berubah drastis terutama dari perlakuannya kepadaku.
            
Padahal sebelum kita menikah, bang Hendra adalah sosok lelaki yang memang aku idam-idamkan. Sampailah aku bisa memilihnya untuk menjadi pasangan hidupku. Restu kedua orang tua juga telah kami dapatkan jauh sebelum keluarga kami mengenal satu sama lain. Bang Hendra dengan segudang karisma dan pesona mampu menarik perhatianku hingga aku bisa tertarik dan mau menjadi pendampingnya. Kami pun menikah disaat yang tepat menurutku.
            
Ketika kami pertama bertemu pun bang Hendra adalah sosok lelaki yang genius, dia mendekat kepadaku dengan caranya tersendiri. Bukan dengan coklat atau bunga, bukan juga dengan segenggam bunga bank ataupun materi lainnya. Dengan gentle nya Hendra Wijayakusuma yang awalnya kupanggil mas Hendra mendekat kepadaku.
           
Lewat surat bertinta hitam berkertas putih yang menjadi saksi bisu perjalanan awal cintaku dan mas Hendra hanya menuliskan “dek?!”
           
Inilah satu hal yang mas Hendra lakukan yang menurutku sangat genius sekali karena dia hanya menuliskan satu patah katu itu, gunanya ya agar aku membalas apa yang sudah dia kirim untukku, ketika memberi sepucuk surat itupun mas Hendra tak berkata barang sepatah duapatah pun padaku.
         
Aku membalas surat mas Hendra. Ku titipkan kepada kawan seperjuangannya, Made. Saat itu Made berada di ruang perpustakaan dan sengaja aku kirim surat itu kepadanya. Sekali itu pun tak ada jawaban mas Hendra yang kudapat,akhirnya aku pun menuliskan surat kembali untuk mas Hendra sampai ketiga kalinya ku menulis surat itu belum juga mas Hendra sanggup membalas. Aku tak gentar, ku kirim lagi kepadanya.tapi setelah ku pikir-pikir lagi ternyata ini kurang baik juga karena jatuhnya kurang sopan apabila aku terus ulet mengirimkan surat lagi.
            
Setelah kejadian surat itu aku mencoba untuk melepaskannya dan berusaha untuk menghapus semua keinginanku untuk mengetahui semua tentang mas Hendra.
            
Setelah sekitar empat tahun berlalu.. mas Hendra tiba-tiba datang ke rumah dan dengan gentle nya berbicara kepada ayahku untuk menikahi aku. Aku kaget dengan sikap mas Hendra saat itu karena memang dia datang tiba-tiba tanpa konfirmasi sebelumnya kepadaku. Untungnya saja aku belum terikat oleh siapa pun.
            
Saat itu entah apa yang dibawa mas Hendra kepada orang tua ku, mas Hendra dengan mudahnya mendapatkan aku. Ya memang karena sudah waktunya aku harus menikah dan datang seorang perjaka gentle yang datang kepada ayah.
            
Pernikahan kami begitu indah karena ternyata mas Hendra seorang lelaki yang sangat romantis. Tiga bulan berjalan begitu indah dan setelah masuk ke bulan ke empat. Ibu dari mas Hendra menuntut kami untuk cepat mempunyai momongan. Dengan perasaan tertekan, setiap hari mas Hendra selalu murung. Sampai suatu ketika di malam hari mas Hendra datang dalam keadaan mabuk berat sampai mukena ku pun terkena muntahan alkohol dari mulut mas Hendra yang berkomat kamit tidak jelas kepadaku.
           
Aku berusaha keras untuk membawa mas Hendra ke kamar dan setelah sampai nya di kamar, mas Hendra tiba-tiba mengamuk dan mendorongku ke lantai dan berkata-kata kasar kepadaku dan dia tak mau dipanggil dengan sebutan mas lagi tapi dia ingin aku menyebutnya abang.
           
Aku sebagai seorang istri yang berusaha melakukan yang terbaik pun manut terhadap perintah suamiku itu. Dari semenjak itulah, mas Hendra sering mengamuk dan marah-marah padaku. Sampai-sampai saat ini ketika aku sedang mengandung anaknya pun aku tak berani untuk mengatakannya. Sebenarnya aku bingung hendak mengatakan apa kepada bang Hendra. Aku benar-benar kacau. Hanya aku dan ibuku yang tau akan kehamilanku.

           
Bayangan disumpah serapah pun sering hadir dihadapanku. Aku sudah tidak tahan dengan ini semua. Padahal aku sudah merelakan waktu untuk tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga demi keutuhan keluarga kecilku bersama bang Hendra. Aku memang tak sempurna tapi aku berusaha menjadi sempurna untuk suamiku, dihadapannya dan dihatinya. Sampai saat ini aku percaya bahwa bang Hendra masih setia kepadaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar