“Bohong!!! Kamu emang istri kurang ajar!! Berani
berani nya kamu tanya sapa mesra duda lapuk itu di depan suami kamu!! Istri
macam apa kamu ini!?”
“Maaf bang! Aku engga bermaksud seperti itu. Aku
sama sekali ga punya pikiran untuk menduakan abang! Aku ini istrimu! Percayalah
bang!”
“Halah! Gimana aku mau percaya sama istri geblekk
kayak kamu! Istri macem kamu tuh mesti dikasih pelajaran! Sini, kamu ikut
abang!”
“Astagfirullah!! Sakit bang! Sakit!!”
“Rasain tuh! Istri kayak kamu udah sepantesnya dapet
itu!!!”
“Ampun bang! Ampun… Ina mohon sama abang!”
“Kalau kamu masih nanya dengan mesra ke si duda
lapuk itu, inget ya.. abang ga segen-segen kasih pelajaran yang lebih dari ini
sama kamu!!!”
Luka
lebam di kakiku pun belum pulih, sekarang malah tambah luka ditangan kananku.
Uhh.. perih rasanya jika rumah tanggaku seperti ini saja. Suamiku, bang Hendra
belakangan ini sering mengamuk tak jelas kepadaku. Entah mengapa.. setelah
genap enam bulan pernikahan ini berjalan, bang Hendra berubah drastis terutama
dari perlakuannya kepadaku.
Padahal
sebelum kita menikah, bang Hendra adalah sosok lelaki yang memang aku
idam-idamkan. Sampailah aku bisa memilihnya untuk menjadi pasangan hidupku.
Restu kedua orang tua juga telah kami dapatkan jauh sebelum keluarga kami
mengenal satu sama lain. Bang Hendra dengan segudang karisma dan pesona mampu
menarik perhatianku hingga aku bisa tertarik dan mau menjadi pendampingnya.
Kami pun menikah disaat yang tepat menurutku.
Ketika
kami pertama bertemu pun bang Hendra adalah sosok lelaki yang genius, dia
mendekat kepadaku dengan caranya tersendiri. Bukan dengan coklat atau bunga,
bukan juga dengan segenggam bunga bank ataupun materi lainnya. Dengan gentle
nya Hendra Wijayakusuma yang awalnya kupanggil mas Hendra mendekat kepadaku.
Lewat
surat bertinta hitam berkertas putih yang menjadi saksi bisu perjalanan awal
cintaku dan mas Hendra hanya menuliskan “dek?!”
Inilah
satu hal yang mas Hendra lakukan yang menurutku sangat genius sekali karena dia
hanya menuliskan satu patah katu itu, gunanya ya agar aku membalas apa yang
sudah dia kirim untukku, ketika memberi sepucuk surat itupun mas Hendra tak
berkata barang sepatah duapatah pun padaku.
Aku
membalas surat mas Hendra. Ku titipkan kepada kawan seperjuangannya, Made. Saat
itu Made berada di ruang perpustakaan dan sengaja aku kirim surat itu
kepadanya. Sekali itu pun tak ada jawaban mas Hendra yang kudapat,akhirnya aku
pun menuliskan surat kembali untuk mas Hendra sampai ketiga kalinya ku menulis
surat itu belum juga mas Hendra sanggup membalas. Aku tak gentar, ku kirim lagi
kepadanya.tapi setelah ku pikir-pikir lagi ternyata ini kurang baik juga karena
jatuhnya kurang sopan apabila aku terus ulet mengirimkan surat lagi.
Setelah
kejadian surat itu aku mencoba untuk melepaskannya dan berusaha untuk menghapus
semua keinginanku untuk mengetahui semua tentang mas Hendra.
Setelah
sekitar empat tahun berlalu.. mas Hendra tiba-tiba datang ke rumah dan dengan
gentle nya berbicara kepada ayahku untuk menikahi aku. Aku kaget dengan sikap
mas Hendra saat itu karena memang dia datang tiba-tiba tanpa konfirmasi
sebelumnya kepadaku. Untungnya saja aku belum terikat oleh siapa pun.
Saat
itu entah apa yang dibawa mas Hendra kepada orang tua ku, mas Hendra dengan
mudahnya mendapatkan aku. Ya memang karena sudah waktunya aku harus menikah dan
datang seorang perjaka gentle yang datang kepada ayah.
Pernikahan
kami begitu indah karena ternyata mas Hendra seorang lelaki yang sangat romantis.
Tiga bulan berjalan begitu indah dan setelah masuk ke bulan ke empat. Ibu dari
mas Hendra menuntut kami untuk cepat mempunyai momongan. Dengan perasaan
tertekan, setiap hari mas Hendra selalu murung. Sampai suatu ketika di malam
hari mas Hendra datang dalam keadaan mabuk berat sampai mukena ku pun terkena
muntahan alkohol dari mulut mas Hendra yang berkomat kamit tidak jelas kepadaku.
Aku
berusaha keras untuk membawa mas Hendra ke kamar dan setelah sampai nya di
kamar, mas Hendra tiba-tiba mengamuk dan mendorongku ke lantai dan berkata-kata
kasar kepadaku dan dia tak mau dipanggil dengan sebutan mas lagi tapi dia ingin
aku menyebutnya abang.
Aku
sebagai seorang istri yang berusaha melakukan yang terbaik pun manut terhadap
perintah suamiku itu. Dari semenjak itulah, mas Hendra sering mengamuk dan
marah-marah padaku. Sampai-sampai saat ini ketika aku sedang mengandung anaknya
pun aku tak berani untuk mengatakannya. Sebenarnya aku bingung hendak
mengatakan apa kepada bang Hendra. Aku benar-benar kacau. Hanya aku dan ibuku
yang tau akan kehamilanku.
Bayangan
disumpah serapah pun sering hadir dihadapanku. Aku sudah tidak tahan dengan ini
semua. Padahal aku sudah merelakan waktu untuk tidak bekerja dan menjadi ibu
rumah tangga demi keutuhan keluarga kecilku bersama bang Hendra. Aku memang tak
sempurna tapi aku berusaha menjadi sempurna untuk suamiku, dihadapannya dan
dihatinya. Sampai saat ini aku percaya bahwa bang Hendra masih setia kepadaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar